Rabu, 23 Februari 2011

Ngudut Nang Pawon

“ Pak…….pak, Sampeyan nangndi ta? Suara si Senen memanggilku.” Aku bergegas menuju suara si Senen.
“E…..aku nang kene iki lho, nang ngarepan,” jawabku. Kemudian si Senen menghampiriku, masih dengan wajah  kumut-kumut karena keringat dan memang baru saja datang dari ladang dan belum sempat mandi. Anak ku lanang memang hanya dia, si Senen. Ku beri nama Senen karena memang hari lahirnya pas Senen. Dari pada bingung-bingung mencari nama yang bagus, yang kebarat- baratan mendingan nama asli njawa saja. Buat orang Jawa asli memang nama itu kedengaran jelek dan nggak gaul. Nama yang ndhesit alias nggilani. Tapi bagiku yang penting maknanya. Senen bagiku mengandung arti yang dalam. Yang pertama, Senen adalah hari pertama dalam penanggalan, yang ke dua, senen merupakan hari tirakat. Orang Islam biasanya banyak yang melakukan puasa Senen Kamis. Yang ke tiga, Senen itu merupakan akronim, pesene enek. Maksudnya ada pesan di balik itu. Mudah-mudahan dia bisa membawa pesan- pesan yang baik bagi manusia. Dan siapapun namanya, aku menyayangi dia sepenuh hati.
Aku nggak malu mempunyai anak yang punya nama Senen. Mudah- mudahan dia juga bangga menyandang nama Senen. What’s a name, kata William Shakespeare, seorang sastrawan ulung dari Inggris yang terkenal di seantero dunia dengan  maha karyanya yang fenomenal ,Romeo dan Julliet. Apalah arti sebuah nama. Yang paling penting bagi manusia bukan karena nama yang panjang sampai satu meter. Bukan nama yang indah. Dan bukan pula nama yang sok kebarat- baratan. Yang penting bukan “Siapa Dia” akan tetapi “ Bagaimana Dia”.
“ Pak,… ana apa ta yah mene kok durung di empakne lampune? Gek sampeyan ya durung adus?” Tanya si Senen membuat ku kaget.
“ Hoalah le… Gek awakmu mau lho… nangndi ae…, kok nganti yah mene isih lagi bali. Gek mbak ayumu mau ya nangndi? Wis bali apa durung?” tanyaku nerocos, karena kawatir akan keberadaan buah hatiku. Kemudian kurangkul dan kuciumi si Senen. “ Dhuh….anakku sing nggantheng dhewe, sepurane bapak ya le…”.
“ Mbakyu ana kamar senthong pak, bubar adus. Aku mau ngarit terus mbakyu golek ripikan nggo cethik geni sesuk. Kayune bong wis entek lho pak.” Jawab si Senen
“ Oalah…ngono ta le, tak kira menyang endi kok yah mene padha durung bali. Aku khawatir banget lho le.”
“ Ana apa ta Pak, kok beda sajak ‘e?”
“ Ora ana apa-apa. Wis kana gek ndang adus. Engko selak bengi lho….”
“ Sik ta Pak, aku tak leren dhisik. Bene atus kringetku. Lha biyung apa durung bali ta Pak?
“ Durung le, paling biyung mu bali engko bubar tahlilan nggone pak Dhe Suto. Kira- kira ya jam setengah sanga an lah. Wong sing masak lan gawe panganan kanggo slametan lan tahlilan ya biyungmu kok.
“ Gek Sampeyan ngko ya melu tahlilan Pak? Aku nang omah dhewe mung karo mbakyu  ngono? Beh ora tepak blas pak, wedi tas ana wong mati malah ditinggal lunga kabeh.”
“Alah,….gek wedi apa. Wong mbakyumu ya ana ngomah, ora lunga kok wedi. Wis gek kana ndang adus.”
“ Ho oh..pak, aku tak adus dhisik, awak ku gatel kabeh.”
Si Senen mandi. Pikiranku kembali menerawang pada Sugeng yang kini sudah jadi priyayi. Dhuh  Gusti, mudah-mudahan  Surti dan si Senen juga bisa jadi priyayi kelak. Biar hidupnya kecukupan seperti Sugeng. Walaupun kehidupanku seperti ini, tapi setelah bertemu Sugeng aku punya semangat besar untuk menyekolahkan anakku ke sekolah yang tinggi biar jadi priyayi nantinya.
Setelah mandi aku duduk di pawon sambil ngudut tengwe, rokok buatan sendiri alias nglinting dhewe. Sedhal-sedhul sendirian. Asap rokok ku sedot dan ku hembuskan… terasa nikmat sekali. Dan sesekali asap itu kubuat mainan lewat bibirku, membentuk bulatan- bulatan dan terbang melayang seperti pikiranku. Ada sebersit semangat baru yang membara dalam benak ku. Dan semangat itu terasa begitu besar menggelora melonjak-lonjak dalam anganku. Yah…..inilah saatnya aku harus bekerja keras dan tak patah semangat demi menggapai tujuanku, menyekolahkan Surti dan si Senene ke sekolah yang lebih tinggi. Surti sekarang sudah kelas tiga SMA. Dan sebentar lagi ia akan tamat, kira-kira dua bulan lagi. Pokok nya dia harus kuliah. Entah bagaimanapun aku harus mencari uang untuk membiayai Surti. Jualan kambing, ayam atau buruh apapun akan ku lakukan. Karena aku yakin Surti akan bisa jadi priyayi seperti Sugeng. Aku yakin karena Surti memiliki kecerdasan di atas rata-rata temannya. Nilai nya di rapor juga bagus, di atas delapan puluh semua. Nilai yang menurutku luar biasa. Belum pernah aku bisa mendapatkan nilai sebagus itu ketika aku di SD dulu. Paling-paling dapat nilai tujuh saja aku sudah lunjak-lunjak girang bukan kepalang. Syukurlah, Surti pintar. Mungkin ia nurun biyungnya. Wataknya halus tapi cekatan dan cerdas. Ia juga pendiam persis seperti biyungnya .Wajahnya pun juga manis sama manisnya dengan biyungnya. Dhuh….Gusti matur nuwun sudah dikarunia anak yang manut dan pintar.
“ Bapak dhahar nggih? Menika sayuripun sampun kula panasi. Lan menika kopinipun ugi taksih benter, ananging ngapunten, paitan. Gendhisipun kados sampun telas.” Ucap anak ku wedok, Surti.
“ Iya ndhuk, wis gak apa-apa paitan kopine, wong pancene gula ne wis entek kok. Mau ana dhayoh wae ya ora tak gawek ne kopi kok, merga gulane entek. Lan aku ora usah nyore, sedhela engkas aku arep nang omahe suwargi Pak Dhe Suta, tahlilan. Adhimu wae gek kongkonen maem, karo awakmu sisan.”
Surti dan Senen makan malam lahap sekali. Ku lihat Senen sampai imbuh dua kali. Mungkin ia lapar sekali sehabis ngarit mencari rumput. Tak terasa mataku basah oleh airmata. Tapi kusembunyikan biar mereka tidak tahu kalau bapaknya menangis. Aku menangis bukan karena sedih, tapi sebaliknya aku menangis karena bangga melihat anak- anak ku yang tidak neka-neka dan bisa menerima keadaan apa adanya. Mereka tidak pernah mengeluh dan meminta macam-macam. Ke sekolah mereka berdua hanya jalan kaki yang jaraknya dari rumah sekita satu kilo meter. Tidak seperti teman-temannya, yang kalau ke sekolah selalu di antar atau minta di antar orang tuanya, serta minta sangu yang lumayan banyak untuk njajan di warung sekolah. Tapi anak- anak ku tidak pernah minta sangu, karena memang aku dan biyungnya anak-anak juga nggak pernah mengasih sangu. Jujur, dalam hatiku sebenarnya trenyuh,…trenyuh sekali. Aku ingin membahagiakan mereka seperti anak-anak tetangga yang lain. Kalau ke sekolah selalu memakai sepeda motor dan punya uang saku banyak untuk njajan di warung sekolah. Tapi apalah jadinya kalau mereka aku uja seperti itu? Keadaan ekonomi ku saja juga seperti ini. Ah…untung …anak-anak ku manut, nggak suka merengek-rengek. Habis minum kopi paitan aku pamit sama Surti dan si Senen mau berangkat tahlilan.
“ Wis ya ndhuk, le aku tak budhal dhisik. Dikancing wae lawange. Paling jam setengah sanga aku karo biyungmu wis bali kok. Ya wis tak budhal ya..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar